Cedera otak yang akan dibicarakan dalam artikel ini adalah cedera akibat rudapaksa kepala (trauma kapitis). Di negara maju, kecelakan lalu lintas merupakan penyebab kematian utama pada umur antara 2 – 44 tahun, dimana 70% diantaranya mengalami rudapaksa kepala 1-3. Di Surabaya, frekuensi trauma kapitis meningkat dengan 18% setiap tahunnya 4.
Secara klasik kita kenal pembagian : komosio, kontusio dan laserasio serebri. Pada komosio serebri kehilangan kesadaran bersifat sementara tanpa kelainan PA. Pada kontusio serebri terdapat kerusakan dari jaringan otak, sedangkan laserasio serebri berarti kerusakan otak disertai robekan duramater. Pembagian lain menyebutkan bahwa pada komosio serebri, penurunan kesadaran kurang dari 15 menit dan post traumatic amnesia kurang dari 1 jam. Bila penurunan kesadaran melebihi 1 jam dan post traumatic amnesia melebihi 24 jam berarti telah terjadi kontusio serebri. Perlu ditambahkan juga ada atau tidaknya gejala cedera otak fokal yang dini, dan hasil rekaman EEG.
* Cedera Kepala
Tulang tengkorak yang tebal dan keras membantu melindungi otak. Tetapi meskipun memiliki helm alami, otak sangat peka terhadap berbagai jenis cedera. Otak bisa terluka meskipun tidak terdapat luka yang menembus tengkorak. Berbagai cedera bisa disebabkan oleh percepatan mendadak yang memungkinkan terjadinya benturan atau karena perlambatan mendadak yang terjadi jika kepala membentur objek yang tidak bergerak. Kerusakan otak bisa terjadi pada titik benturan dan pada sisi yang berlawanan.
Cedera percepatan-perlambatan kadang disebut coup contrecoup (bahasa Perancis untuk hit-counterhit).
Cedera kepala yang berat dapat merobek, meremukkan atau menghancurkan saraf, pembuluh darah dan jaringan di dalam atau di sekeliling otak. Bisa terjadi kerusakan pada jalur saraf, perdarahan atau pembengkakan hebat. Perdarahan, pembengkakan dan penimbunan cairan (edema) memiliki efek yang sama yang ditimbulkan oleh pertumbuhan massa di dalam tengkorak.
· Mekanisme Cedera Kepala
Rudapaksa kepala dapat menyebabkan cedera pada otak karena adanya aselerasi, deselerasi dan rotasi dari kepala dan isinya. Karena perbedaan densitas antara tengkorak dan isinya, bila ada aselerasi, gerakan cepat yang mendadak dari tulang tengkorak diikuti dengan lebih lambat oleh otak. Ini mengakibatkan benturan dan goresan antara otak dengan bagian-bagian dalam tengkorak yang menonjol atau dengan sekat-sekat duramater. Bita terjadi deselerasi (pelambatan gerak), terjadi benturan karena otak masih bergerak cepat pada saat tengkorak sudah bergerak lambat atau berhenti.
Mekanisme yang sama terjadi bila ada rotasi kepala yang mendadak. Tenaga gerakan ini menyebabkan cedera pada otak karena kompresi (penekanan) jaringan, peregangan maupun penggelinciran suatu bagian jaringan di atas jaringan yang lain. Ketiga hal ini biasanya terjadi bersama-sama atau berturutan. Kerusakan jaringan otak dapat terjadi di tempat benturan (coup), maupun di tempat yang berlawanan (countre coup). Diduga countre coup terjadi karena gelombang tekanan dari sisi benturan (sisi coup) dijalarkan di dalam jaringan otak ke arah yang berlawanan; teoritis pada sisi countre coup ini terjadi tekanan yang paling rendah, bahkan se-ring kali negatif hingga timbul kavitasi dengan robekan jaringan. Selain itu, kemungkinan gerakan rotasi isi tengkorak pada setiap trauma merupakan penyebab utama terjadinya countre coup, akibat benturan-benturan otak dengan bagian dalam tengkorak maupun tarikan dan pergeseran antar jaringan dalam tengkorak.. Yang seringkali menderita kerusakan-kerusakan ini adalah daerah lobus temporalis, frontalis dan oksipitalis.
Karena tengkorak tidak dapat bertambah luas, maka peningkatan tekanan bisa merusak atau menghancurkan jaringan otak. Karena posisinya di dalam tengkorak, maka tekanan cenderung mendorong otak ke bawah. Otak sebelah atas bisa terdorong ke dalam lubang yang menghubungkan otak dengan batang otak, keadaan ini disebut herniasi. Sejenis herniasi serupa bisa mendorong otak kecil dan batang otak melalui lubang di dasar tengkorak (foramen magnum) ke dalam medula spinalis. Herniasi ini bisa berakibat fatal karena batang otak mengendalikan fungsi vital (denyut jantung dan pernafasan).
· Gejala Klinis Cedera Kepala
Trauma secara langsung akan menyebabkan cedera yang disebut lesi primer. Lesi primer ini dapat dijumpai pada kulit dan jaringan subkutan, tulang tengkorak, jaringan otak, saraf otak maupun pembuluh-pembuluh darah di dalam dan di sekitar otak. Pada tulang tengkorak dapat terjadi fraktur linier (±70% dari fraktur tengkorak), fraktur impresi maupun perforasi.
Penelitian pada lebih dari 500 penderita trauma kepala menunjukkan bahwa hanya ± 18% penderita yang mengalami fraktur tengkorak. Fraktur tanpa kelainan neurologik, secara klinis tidak banyak berarti. Fraktur linier pada daerah temporal dapat merobek atau menimbulkan aneurisma pada arteria meningea media dan cabang-cabangnya; pada dasar tengkorak dapat merobek atau menimbulkan aneurisma a. karotis interna dan terjadi perdarahan lewat hidung, mulut dan telinga. Fraktur yang mengenai lamina kribriform dan daerah telinga tengah dapat menimbulkan rinoroe dan otoroe (keluarnya cairan serebro spinal lewat hidung atau telinga.
Fraktur impresi dapat menyebabkan penurunan volume dalam tengkorak, hingga menimbulkan herniasi batang otak lewat foramen magnum. Juga secara langsung menyebabkan kerusakan pada meningen dan jaringan otak di bawahnya akibat penekanan. Pada jaringan otak akan terdapat kerusakan-kerusakan yang hemoragik pada daerah coup dan countre coup, dengan piamater yang masih utuh pada kontusio dan robek pada laserasio serebri. Kontusio yang berat di daerah frontal dan temporal sering kali disertai adanya perdarahan subdural dan intra serebral yang akut. Tekanan dan trauma pada kepala akan menjalar lewat batang otak kearah kanalis spinalis; karena adanya foramen magnum, gelombang tekanan ini akan disebarkan ke dalam kanalis spinalis. Akibatnya terjadi gerakan ke bawah dari batang otak secara mendadak, hingga mengakibatkan kerusakan-kerusakan di batang otak. Saraf otak dapat terganggu akibat trauma langsung pada saraf, kerusakan pada batang otak, ataupun sekunder akibat meningitis atau kenaikan tekanan intrakranial. Kerusakan pada saraf otak kebanyakan disebabkan oleh fraktur lamina kribriform di dasar fosa anterior maupun countre coup dari trauma di daerah oksipital. Pada gangguan yang ringan dapat sembuh dalam waktu 3 bulan.
Dinyatakan bahwa ± 5% penderita tauma kapitis menderita gangguan ini. Gangguan pada saraf otak , biasanya akibat trauma di daerah frontal. Dari saraf-saraf penggerak otot mata, yang sering terkena adalah saraf VI karena letaknya di dasar tengkorak. Ini menyebabkan diplopia yang dapat segera timbul akibat trauma, atau sesudah beberapa hari akibat dari edema otak. Gangguan saraf III yang biasanya menyebabkan ptosis, midriasis dan refleks cahaya negatif sering kali diakibatkan hernia tentorii. Gangguan pada saraf V biasanya hanya pada cabang supra-orbitalnya, tapi sering kali gejalanya hanya berupa anestesi daerah dahi hingga terlewatkan pada pemeriksaan. Saraf VII dapat segera memperlihatkan gejala, atau sesudah beberapa hari kemudian. Yang timbulnya lambat biasanya cepat dapat pulih kembali, karena penyebabnya adalah edema. Kerusakannya terjadi di kanalis fasialis, dan sering kali disertai perdarahan lewat lubang telinga. Banyak didapatkan gangguan saraf VIII pada. trauma kepala, misalnya gangguan pendengaran maupun keseimbangan. Edema juga merupakan salah satu penyebab gangguan. Gangguan pada saraf IX, X dan XI jarang didapatkan, mungkin karena kebanyakan penderitanya meninggal bila trauma sampai dapat menimbulkan gangguan pada saraf- saraf tersebut. Akibat dari trauma pada pembuluh darah, selain robekan terbuka yang dapat langsung terjadi karena benturan atau tarikan, dapat juga timbul kelemahan dinding arteri. Bagian ini kemudian berkembang menjadi aneurisma. Ini sering terjadipada arteri karotis interna pada tempat masuknya di dasar tengkorak. Aneurisma arteri karotis interim ini suatu saat dapat pecah dan timbul fistula karotiko kavernosa.
Aneurisma pasca traumatik ini bisa terdapat di semua arteri, dan potensial untuk nantinya menimbulkan perdarahan subaraknoid. Robekan langsung pembuluh darah akibat gaya geseran antar jaringan di otak sewaktu trauma akan menyebabkan perdarahan subaraknoid, maupun intra serebral. Robekan pada vena-vena yang menyilang dari korteks ke sinus venosus (bridging veins) akan menyebabkan suatu subdural hematoma.
* Subdural Hematome
Hematoma subdural adalah akumulasi darah dibawah lapisan duramater dan di atas lapisan arakhnoid, penyebabnya adalah robekan permukaan vena atau pengeluaran kumpulan darah vena. Kelompok lansia dan kelompok alkoholik merupakan kelompok yang mempunyai frekuensi jatuh yang tinggi serta derajat atrofi kortikal yang menempatkan struktur jembatan vena yang menimbulkan permukaan otak dibawah tekanan lebih besar.
* Klasifikasi Subdural Hematome
ü Hematome Subdural Akut
Trauma yang merobek duramater dan arachnoid sehingga darah dan CSS masuk ke dalam ruang subdural. Gangguan neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak dan herniasi batang otak. Keadaan ini menimbulkan berhentinya pernafasan dan hilangnya kontrol denyut nadi dan tekanan darah. Cedera ini menunjukkan gejala dalam 24 – 48 jam setelah trauma. Diagnosis dibuat dengan arteriogram karotis dan ekoensefalogram / CT Scan. Pengobatan terutama tindakan bedah.
Lebih dari sepertiga pasien mempunyai lucid interval yang berakhir dalam menit atau hitungan jam sebelum koma, tetapi kebanyakan komatose didapatkan dari saat kejadian. Trauma cranial langsung dapat minor dan tidak dibutuhkan perdarahan subdural akut untuk timbul, terutama pada orang tua dan mereka yang menggunakan medikasi antikoagulan. Tahanan Akselerasi sendiri, dari kejadian, terkadang cukup untuk menimbulkan suatu perdarahan subdural. Nyeri kepala sebelah dan pembesaran pupil pada sisi yang sama adalah lebih sering tetapi tidak tampak seringnya. Stupor atau koma, hemiparesis, dan pembesaran pupil merupakan tanda dari hematoma yang besar. Pada pasien deteriorisasi akut, burr holes atau pada craniotomy dibutuhkan. Hematoma subdural kecil dapat menjadi asimptomatik dan biasanya tidak membutuhkan evakuasi.
ü Hematome Subdural Subakut
Perdarahan ini menyebabkan devisit neurologik yang bermakna dalam waktu lebih dari 48 jam. Peningkatan tekanan intra kranial disebabkan oleh akumulasi darah akan menimbulkan herniasi ulkus atau sentral dan melengkapi tanda – tanda neurologik dari kompresi batang otak. Pengobatan ini dengan pengangkatan bekuan darah. Sindrom yang melibatkan sub akut akibat sindroma hematom subdural timbul berhari-hari setelah gangguan dengan nyeri kepala, atau hemiparesis ringan; hal ini biasanya meningkat pada alkoholik dan pada orang tua, seringkali setelah trauma minor.
Pada studi imaging tampak pengumpulan crescentik melewati konveksitas pada satu atau kedua hemisfer, tetapi lebih sering pada wilayah frontotemporal, dan sedikit sering pada fosa mid inferior atau melalui oksipital. Interhemispheric, posterior fossa, atau bilateral convexity hematomas sedikit lebih sering dan sulit untuk didiagnosa secara klinis, meskipun tanda yang diharapkan pada setiap kerusakan wilayah biasanya dapat dideteksi. Perdarahan yang dapat menyebabkan hematoma yang besar aslinya merupakan vena, meskipun perdarahan arterial tambahan ditempat terkadang ditemukan pada saat operasi dan beberapa hematoma yang besar memang berasal dari arteri.
ü Hematoma Subdural Kronik
Timbulnya gejala ini pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan, dan tahun setelah cedera pertama. Perluasan ini massa terjadi pada kebocoran kapiler lambat. Gejala umum meliputi sakit kepala, letargi, kacau mental, kejang, dan kadang – kadang disfasia. Diagnosis dibuat dengan arteriografi. Pada pasien dengan hematoma kecil tanpa tanda–tanda neurologik, maka tindakan pengobatan yang terbaik adalah melakukan pemantauan ketat. Sedangkan klien dengan gangguan neurologik yang progresif dan gejala kelemahan, cara pengobatan yang terbaik adalah pembedahan.
Observasi klinis yang digandakan dengan imaging serial merupakan pendekatan yang berasan dengan beberapa gejala dan koleksi subdural kronik yang sedikit. Terapi dengan glukokortikoid sendiri cukup untuk beberapa hematoma, tetapi evakuasi pembedahan lebih sering berhasil. Membrane fibrous yang tumbuh dari dura dan pengumpulan yang tidak berkapsul membutuhkan pemindahan untuk mencegah akumulasi cairan berulang. Hematoma kecil diabsorbsi, sisa yang tinggal hanyalah membrane yang terorganisasi. Pada studi imaging hematoma subdural kronik dapat sulit untuk dibedakan dengan higroma, dimana pengumpulan CSF didapatkan dari membrane arachnoid. Sebagaimana disebutkan, kerusakan korteks dengan penyebab mendasar hematoma kronik dapat timbul sebagai focus kejang kemudian.
* Untuk Menilai Derajat Penurunan Kesadaran dengan Skala Coma Glasgow (GCS)
1. Cedera Kepala Berat (GCS : 3-8)
2. Cedera Kepala Sedang (GCS : 9-12)
3. Cedera Kepala Ringan (GCS : 13-15)
4. Perdarahan Intrakranial dengan GCS : Cedera Ringan/sedang dianggap sebagai cedera kepala berat.
Ada 3 macam indikator yang diperiksa yaitu:
- Reaksi membuka mata
- Reaksi verbal
- Reaksi motorik
1.Reaksi membuka mata Nilai
Membuka mata spontan 4
Buka mata dengan rangsangan suara 3
Buka mata dengan rangsangan nyeri 2
Tidak membuka mata dengan rangsangan nyeri 1
2.Reaksi verbal Nilai
Komunikasi verbal baik, jawaban tepat 5
Bingung, disorientasi waktu, tempat dan ruang 4
Dengan rangsangan nyeri keluar kata-kata 3
Keluar suara tapi tak berbentuk kata-kata 2
Tidak keluar suara dengan rangsangan apapun 1
3.Reaksi motorik Nilai
Mengikuti perintah 6
Melokakisir rangsangan nyeri 5
Menarik tubuhnya bila ada rangsangan nyeri 4
Reaksi fleksi abnormal dengan rangsangan nyeri 3
Reaksi ekstensi abnormal dengan rangsangan nyeri 2
Tidak ada gerakan dengan rangsangan nyeri 1
* Asal Perdarahan Subdural Hematome dan Gejalanya
Hematoma subdural berasal dari perdarahan pada vena di sekeliling otak. Perdarahan bisa terjadi segera setelah terjadinya cedera kepala berat atau beberapa saat kemudian setelah terjadinya cedera kepala yang lebih ringan. Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering terjadi pada usia lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua keadaan ini, cedera tampaknya ringan; selama beberapa minggu gejalanya tidak dihiraukan. Hasil pemeriksaan CT scan dan MRI bisa menunjukkan adanya genangan darah. Hematoma subdural pada bayi bisa menyebabkan kepala bertambah besar karena tulang tengkoraknya masih lembut dan lunak. Hematoma subdural yang kecil pada dewasa seringkali diserap secara spontan. Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis biasanya dikeluarkan melalui pembedahan.
Petunjuk dilakukannya pengaliran perdarahan ini adalah:
- sakit kepala yang menetap
- rasa mengantuk yang hilang-timbul
- linglung
- perubahan ingatan
- kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan
ü Diagnosa
Diagnosa dapat ditegakkan berdasarkan gejala yang timbul dan pemeriksaan CT-Scan, MRI.
* Dampak Cedera Kepala
ü Faktor pernafasan
Hypertensi setelah SDH terjadi karena pengaruh vasokonstriksi paru, hypertensi paru, dan oedema paru. Hal ini menyebabkan hypercapnea dan bronkokonstriksi. Sensitifitas yang meningkat pada mekanisme pernafasan terhadap karbondioksida dan periode setelah hyperventilasi akan menyebabkan pernafasan chynestoke.
ü Faktor kardiovaskuler
SDH menyebabkan perubahan fungsi jantung yang mencakup aktivitas atycikal myocardinal, edema paru dan tekanan vaskuler. Perubahan otonom pada fungsi ventrikel / perubahan gelombang T, gelombang P tinggi dan disritmia, vibrilasi atrium dan ventrikel tachycardia. Perubahan aktivitas myokardial mencakup peningkatan frekuensi jantung dan menurunnya stroke work, CVP abnormal. Dengan tidak adanya endogenous stimulus saraf simpatis, maka akan mempengaruhi penurunan kontraktilitas ventrikel. Hal ini mengakibatkan terjadinya penurunan CO2 dan peningkatan tekanan atrium kiri sehingga terjadi oedema paru.
ü Faktor gastrointestinal
Setelah cedera kepala, perlukaan dan perdarahan pada lambung jarang ditemukan, tetapi setelah 3 hari pasca cedera terdapat respon yang besar dan merangsang aktivitas hypthalamus dan stimulus vagus yang dapat menyebabkan langsung hiperacidium. Hypothalamus merangsang anterior hypofise untuk mengeluarkan steroid adrenal. Hal ini merupakan kompensasi tubuh dalam mengeluarkan kortikosteroid dalam menangani oedema cerebral. Hyperacidium terjadi karena adanya peningkatan pengeluaran katekolamin dalam menangani stres yang mempengaruhi produksi asam lambung.
ü Faktor metabolisme.
Cedera kepala dapat mengakibatkan perubahan metabolisme seperti pada trauma tubuh lainnya, yaitu kecendrungan retensi sodium / natrium dan air serta hilangnya sejumlah nitrogen. Retensi natrium disebabkan karena adanya rangsangan terhadap hypothalamus yang dapat menyebabkan pelepasan ACTH dan sekresi aldosteron. Ginjal mengambil peran dalam proses hemodinamik ginjal untuk mengatasi retensi natrium. Kemudian natrium keluar bersama urine, hal ini mempengaruhi hubungan natrium pada serum dan adanya retensi natrium. Pada pasca hypotermia hilangnya nitrogen yang berlebihan sama dengan respon metabolik terhadap cedera, karena adanya cedera tubuh maka diperlukan energi untuk menangani perubahan seluruh sistem, tetapi makanan yang masuk kurang sehingga terjadi penghancuran protein otot sebagai sumber nitrogen utama, demikian pula respon hypothalamus terhadap cedera, maka akan terjadi sekresi kortisol, hormon pertumbuhan dan produksi katekolamin dan prolaktin sehingga terjadi asidosis metabolik karena adanya metabolisme anaerob glukosa
* Terapi
ü Medikamentosa dan Non Medikamentosa
Meskipun SDH secara signifikan membutuhkan terapi pembedahan, maneuver medis sewaktu dapat digunakan preoperative untuk menurunkan tekanan intracranial yang meningkat. Pengukuran ini merupakan pintu untuk setiap lesi massa akut dan telah distandardisasi oleh komunitas bedah saraf. Sebagaimana dengan pasien trauma lain, resusitasi dimulai dengan ABCs (airway, breathing, circulation).
o Semua pasien dengan skor GCS kurang dari 8 harus dilakukan intubasi untuk perlindungan jalan nafas.
o Setelah menstabilkan fungsi jalan nafas, lakukan pemeriksaan neurologis. Respirasi yang adekuat sebaiknya dilakukan dan dijaga untuk menghindari hipoksia. Hiperventilasi dapat digunakan jika sindrom herniasi tampak.
o Tekanan darah pasien harus dijaga pada kadar normal atau tinggi dengan menggunakan salin isotonic, penekan, atau keduanya. Hipoksia dan hipotensi, dimana penting pada pasien dengan trauma kepala, merupakan predictor yang independen untuk hasil yang buruk.
o Sedatif kerja singkat dan paralitik digunakan hanya ketika diperlukan untuk memfasilitasi ventilasi adekuat atau ketika peningkatan tekanan intracranial dicurigai. Jika pasien menampakkan tanda sindrom herniasi, berikan manitol 1gr/kgBB dengan cepat melalui intravena.
o Pasien juga sebaiknya dihiperventilasikan ringan (pCO2 ~30-35 mm Hg).
o Pemberian antikonvulsan untuk mencegah kejang yang disebabkan iskemia dan selanjutnya jaga tekanan intracranial.
o Perawatan Pembedahan
Indikasi Operasi :
v Penurunan kesadaran tiba-tiba di depan mata
v Adanya tanda herniasi/ lateralisasi
v Adanya cedera sistemik yang memerlukan operasi emergensi, dimana CT Scan Kepala tidak bisa dilakukan.
Tindakan eksploratif burrhole dilanjutkan tindakan kraniotomi, pembukaan dura, evakuasi hematoma dengan irigasi memakai cairan garam fisiologis. Sering tampak jaringan otak edematous. Disini dura dibiarkan terbuka, namun tetap diperlukan penutupan ruang likuor hingga kedap air. Ini dijalankan dengan bantuan periost. Perawatan pascabedah ditujukan pada faktor-faktor sistemik yang memungkinkan lesi otak sekunder.
Indikasi dari dekompresi mendesak untuk subdural hematoma akut telah dilakukan sebelumnya, dan managemen operasi didiskusikan dengan ringkas. Standar kebalikan pertanyaan menandakan insisi untuk memberikan akses yang besar terhadap wilayah frontal, temporal dan parietal.
o Pasien diposisikan supine dengan kepala menghadap sisi yang perlu. Penahan bahu ditempatkan untuk mencegah vena jugularis. Alat Fiksasi kepala 3 titik digunakan pada pasien dengan fraktur medulla spinalis yang tidak stabil.
o Seluruh kepala dicukur duntuk memfasilitasi penempatan monitor tekanan intracranial pada sisi kontralateral, jika diinginkan.
o Pelubangan eksplorasi jarang diindikasikan tetapi terkadang digunakan sebagai pengukuran untuk keselamatan hidup. Pasien dengan trauma kepala dapat secara cepat ditriasekan dan dievakuasi dengan pusat trauma melalui CT Scan, membuat perlubangan eksplorasi manjadi ketinggalan. Bagaimanapun, perlubangan kepala dapat digunakan untuk dekompresi mendesak pada apsien yang menunjukkan herniasi cepat jika akses untuk studi radiografi tidak ada.
o SDH seringkali dikaitkan dengan pembengkakan otak akut. Secara ironis, dekompresi cepat subdural hematom melalui craniotomy pada pasien ini dapat menyebabkan kerusakan terhadap otak dengan menjadi herniasi melalui defek kraniotomi. Metode novel untuk dekompresi dianjurkan untuk mencegah otak dari kerusakan melalui defek kiraniotomi. Sumbatan dapat dipindahkan melalui pembukaan dura yang kecil.
* Prognosis
Hal-hal yang dapat membantu menentukan prognosis : Usia dan lamanya koma pasca traumatik, makin muda usia, makin berkurang pengaruh lamanya koma terhadap restitusi mental. Tekanan darah pasca trauma. Hipertensi pasca trauma memperjelek prognosis. Pupil lebar dengan fefleks cahaya negatif, prognosis jelek. Reaksi motorik abnormal (dekortikasi/deserebrasi) biasanya tanda penyembuhan akan tidak sempurna. Hipertermi, hiperventilasi, Cheyne-Stokes, deserebrasi: menjurus ke arah hidup vegetative Apnea, pupil tak ada reaksi cahaya, gerakan refleks mata negatif, tak ada gerakan apapun merupakan tanda-tanda brain death. Ini perlu dilengkapi dengan EEG yang isoelektrik. Prognosis tergantung dengan penanganan yang cepat dan tepat.
Secara klasik kita kenal pembagian : komosio, kontusio dan laserasio serebri. Pada komosio serebri kehilangan kesadaran bersifat sementara tanpa kelainan PA. Pada kontusio serebri terdapat kerusakan dari jaringan otak, sedangkan laserasio serebri berarti kerusakan otak disertai robekan duramater. Pembagian lain menyebutkan bahwa pada komosio serebri, penurunan kesadaran kurang dari 15 menit dan post traumatic amnesia kurang dari 1 jam. Bila penurunan kesadaran melebihi 1 jam dan post traumatic amnesia melebihi 24 jam berarti telah terjadi kontusio serebri. Perlu ditambahkan juga ada atau tidaknya gejala cedera otak fokal yang dini, dan hasil rekaman EEG.
* Cedera Kepala
Tulang tengkorak yang tebal dan keras membantu melindungi otak. Tetapi meskipun memiliki helm alami, otak sangat peka terhadap berbagai jenis cedera. Otak bisa terluka meskipun tidak terdapat luka yang menembus tengkorak. Berbagai cedera bisa disebabkan oleh percepatan mendadak yang memungkinkan terjadinya benturan atau karena perlambatan mendadak yang terjadi jika kepala membentur objek yang tidak bergerak. Kerusakan otak bisa terjadi pada titik benturan dan pada sisi yang berlawanan.
Cedera percepatan-perlambatan kadang disebut coup contrecoup (bahasa Perancis untuk hit-counterhit).
Cedera kepala yang berat dapat merobek, meremukkan atau menghancurkan saraf, pembuluh darah dan jaringan di dalam atau di sekeliling otak. Bisa terjadi kerusakan pada jalur saraf, perdarahan atau pembengkakan hebat. Perdarahan, pembengkakan dan penimbunan cairan (edema) memiliki efek yang sama yang ditimbulkan oleh pertumbuhan massa di dalam tengkorak.
· Mekanisme Cedera Kepala
Rudapaksa kepala dapat menyebabkan cedera pada otak karena adanya aselerasi, deselerasi dan rotasi dari kepala dan isinya. Karena perbedaan densitas antara tengkorak dan isinya, bila ada aselerasi, gerakan cepat yang mendadak dari tulang tengkorak diikuti dengan lebih lambat oleh otak. Ini mengakibatkan benturan dan goresan antara otak dengan bagian-bagian dalam tengkorak yang menonjol atau dengan sekat-sekat duramater. Bita terjadi deselerasi (pelambatan gerak), terjadi benturan karena otak masih bergerak cepat pada saat tengkorak sudah bergerak lambat atau berhenti.
Mekanisme yang sama terjadi bila ada rotasi kepala yang mendadak. Tenaga gerakan ini menyebabkan cedera pada otak karena kompresi (penekanan) jaringan, peregangan maupun penggelinciran suatu bagian jaringan di atas jaringan yang lain. Ketiga hal ini biasanya terjadi bersama-sama atau berturutan. Kerusakan jaringan otak dapat terjadi di tempat benturan (coup), maupun di tempat yang berlawanan (countre coup). Diduga countre coup terjadi karena gelombang tekanan dari sisi benturan (sisi coup) dijalarkan di dalam jaringan otak ke arah yang berlawanan; teoritis pada sisi countre coup ini terjadi tekanan yang paling rendah, bahkan se-ring kali negatif hingga timbul kavitasi dengan robekan jaringan. Selain itu, kemungkinan gerakan rotasi isi tengkorak pada setiap trauma merupakan penyebab utama terjadinya countre coup, akibat benturan-benturan otak dengan bagian dalam tengkorak maupun tarikan dan pergeseran antar jaringan dalam tengkorak.. Yang seringkali menderita kerusakan-kerusakan ini adalah daerah lobus temporalis, frontalis dan oksipitalis.
Karena tengkorak tidak dapat bertambah luas, maka peningkatan tekanan bisa merusak atau menghancurkan jaringan otak. Karena posisinya di dalam tengkorak, maka tekanan cenderung mendorong otak ke bawah. Otak sebelah atas bisa terdorong ke dalam lubang yang menghubungkan otak dengan batang otak, keadaan ini disebut herniasi. Sejenis herniasi serupa bisa mendorong otak kecil dan batang otak melalui lubang di dasar tengkorak (foramen magnum) ke dalam medula spinalis. Herniasi ini bisa berakibat fatal karena batang otak mengendalikan fungsi vital (denyut jantung dan pernafasan).
· Gejala Klinis Cedera Kepala
Trauma secara langsung akan menyebabkan cedera yang disebut lesi primer. Lesi primer ini dapat dijumpai pada kulit dan jaringan subkutan, tulang tengkorak, jaringan otak, saraf otak maupun pembuluh-pembuluh darah di dalam dan di sekitar otak. Pada tulang tengkorak dapat terjadi fraktur linier (±70% dari fraktur tengkorak), fraktur impresi maupun perforasi.
Penelitian pada lebih dari 500 penderita trauma kepala menunjukkan bahwa hanya ± 18% penderita yang mengalami fraktur tengkorak. Fraktur tanpa kelainan neurologik, secara klinis tidak banyak berarti. Fraktur linier pada daerah temporal dapat merobek atau menimbulkan aneurisma pada arteria meningea media dan cabang-cabangnya; pada dasar tengkorak dapat merobek atau menimbulkan aneurisma a. karotis interna dan terjadi perdarahan lewat hidung, mulut dan telinga. Fraktur yang mengenai lamina kribriform dan daerah telinga tengah dapat menimbulkan rinoroe dan otoroe (keluarnya cairan serebro spinal lewat hidung atau telinga.
Fraktur impresi dapat menyebabkan penurunan volume dalam tengkorak, hingga menimbulkan herniasi batang otak lewat foramen magnum. Juga secara langsung menyebabkan kerusakan pada meningen dan jaringan otak di bawahnya akibat penekanan. Pada jaringan otak akan terdapat kerusakan-kerusakan yang hemoragik pada daerah coup dan countre coup, dengan piamater yang masih utuh pada kontusio dan robek pada laserasio serebri. Kontusio yang berat di daerah frontal dan temporal sering kali disertai adanya perdarahan subdural dan intra serebral yang akut. Tekanan dan trauma pada kepala akan menjalar lewat batang otak kearah kanalis spinalis; karena adanya foramen magnum, gelombang tekanan ini akan disebarkan ke dalam kanalis spinalis. Akibatnya terjadi gerakan ke bawah dari batang otak secara mendadak, hingga mengakibatkan kerusakan-kerusakan di batang otak. Saraf otak dapat terganggu akibat trauma langsung pada saraf, kerusakan pada batang otak, ataupun sekunder akibat meningitis atau kenaikan tekanan intrakranial. Kerusakan pada saraf otak kebanyakan disebabkan oleh fraktur lamina kribriform di dasar fosa anterior maupun countre coup dari trauma di daerah oksipital. Pada gangguan yang ringan dapat sembuh dalam waktu 3 bulan.
Dinyatakan bahwa ± 5% penderita tauma kapitis menderita gangguan ini. Gangguan pada saraf otak , biasanya akibat trauma di daerah frontal. Dari saraf-saraf penggerak otot mata, yang sering terkena adalah saraf VI karena letaknya di dasar tengkorak. Ini menyebabkan diplopia yang dapat segera timbul akibat trauma, atau sesudah beberapa hari akibat dari edema otak. Gangguan saraf III yang biasanya menyebabkan ptosis, midriasis dan refleks cahaya negatif sering kali diakibatkan hernia tentorii. Gangguan pada saraf V biasanya hanya pada cabang supra-orbitalnya, tapi sering kali gejalanya hanya berupa anestesi daerah dahi hingga terlewatkan pada pemeriksaan. Saraf VII dapat segera memperlihatkan gejala, atau sesudah beberapa hari kemudian. Yang timbulnya lambat biasanya cepat dapat pulih kembali, karena penyebabnya adalah edema. Kerusakannya terjadi di kanalis fasialis, dan sering kali disertai perdarahan lewat lubang telinga. Banyak didapatkan gangguan saraf VIII pada. trauma kepala, misalnya gangguan pendengaran maupun keseimbangan. Edema juga merupakan salah satu penyebab gangguan. Gangguan pada saraf IX, X dan XI jarang didapatkan, mungkin karena kebanyakan penderitanya meninggal bila trauma sampai dapat menimbulkan gangguan pada saraf- saraf tersebut. Akibat dari trauma pada pembuluh darah, selain robekan terbuka yang dapat langsung terjadi karena benturan atau tarikan, dapat juga timbul kelemahan dinding arteri. Bagian ini kemudian berkembang menjadi aneurisma. Ini sering terjadipada arteri karotis interna pada tempat masuknya di dasar tengkorak. Aneurisma arteri karotis interim ini suatu saat dapat pecah dan timbul fistula karotiko kavernosa.
Aneurisma pasca traumatik ini bisa terdapat di semua arteri, dan potensial untuk nantinya menimbulkan perdarahan subaraknoid. Robekan langsung pembuluh darah akibat gaya geseran antar jaringan di otak sewaktu trauma akan menyebabkan perdarahan subaraknoid, maupun intra serebral. Robekan pada vena-vena yang menyilang dari korteks ke sinus venosus (bridging veins) akan menyebabkan suatu subdural hematoma.
* Subdural Hematome
Hematoma subdural adalah akumulasi darah dibawah lapisan duramater dan di atas lapisan arakhnoid, penyebabnya adalah robekan permukaan vena atau pengeluaran kumpulan darah vena. Kelompok lansia dan kelompok alkoholik merupakan kelompok yang mempunyai frekuensi jatuh yang tinggi serta derajat atrofi kortikal yang menempatkan struktur jembatan vena yang menimbulkan permukaan otak dibawah tekanan lebih besar.
* Klasifikasi Subdural Hematome
ü Hematome Subdural Akut
Trauma yang merobek duramater dan arachnoid sehingga darah dan CSS masuk ke dalam ruang subdural. Gangguan neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak dan herniasi batang otak. Keadaan ini menimbulkan berhentinya pernafasan dan hilangnya kontrol denyut nadi dan tekanan darah. Cedera ini menunjukkan gejala dalam 24 – 48 jam setelah trauma. Diagnosis dibuat dengan arteriogram karotis dan ekoensefalogram / CT Scan. Pengobatan terutama tindakan bedah.
Lebih dari sepertiga pasien mempunyai lucid interval yang berakhir dalam menit atau hitungan jam sebelum koma, tetapi kebanyakan komatose didapatkan dari saat kejadian. Trauma cranial langsung dapat minor dan tidak dibutuhkan perdarahan subdural akut untuk timbul, terutama pada orang tua dan mereka yang menggunakan medikasi antikoagulan. Tahanan Akselerasi sendiri, dari kejadian, terkadang cukup untuk menimbulkan suatu perdarahan subdural. Nyeri kepala sebelah dan pembesaran pupil pada sisi yang sama adalah lebih sering tetapi tidak tampak seringnya. Stupor atau koma, hemiparesis, dan pembesaran pupil merupakan tanda dari hematoma yang besar. Pada pasien deteriorisasi akut, burr holes atau pada craniotomy dibutuhkan. Hematoma subdural kecil dapat menjadi asimptomatik dan biasanya tidak membutuhkan evakuasi.
ü Hematome Subdural Subakut
Perdarahan ini menyebabkan devisit neurologik yang bermakna dalam waktu lebih dari 48 jam. Peningkatan tekanan intra kranial disebabkan oleh akumulasi darah akan menimbulkan herniasi ulkus atau sentral dan melengkapi tanda – tanda neurologik dari kompresi batang otak. Pengobatan ini dengan pengangkatan bekuan darah. Sindrom yang melibatkan sub akut akibat sindroma hematom subdural timbul berhari-hari setelah gangguan dengan nyeri kepala, atau hemiparesis ringan; hal ini biasanya meningkat pada alkoholik dan pada orang tua, seringkali setelah trauma minor.
Pada studi imaging tampak pengumpulan crescentik melewati konveksitas pada satu atau kedua hemisfer, tetapi lebih sering pada wilayah frontotemporal, dan sedikit sering pada fosa mid inferior atau melalui oksipital. Interhemispheric, posterior fossa, atau bilateral convexity hematomas sedikit lebih sering dan sulit untuk didiagnosa secara klinis, meskipun tanda yang diharapkan pada setiap kerusakan wilayah biasanya dapat dideteksi. Perdarahan yang dapat menyebabkan hematoma yang besar aslinya merupakan vena, meskipun perdarahan arterial tambahan ditempat terkadang ditemukan pada saat operasi dan beberapa hematoma yang besar memang berasal dari arteri.
ü Hematoma Subdural Kronik
Timbulnya gejala ini pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan, dan tahun setelah cedera pertama. Perluasan ini massa terjadi pada kebocoran kapiler lambat. Gejala umum meliputi sakit kepala, letargi, kacau mental, kejang, dan kadang – kadang disfasia. Diagnosis dibuat dengan arteriografi. Pada pasien dengan hematoma kecil tanpa tanda–tanda neurologik, maka tindakan pengobatan yang terbaik adalah melakukan pemantauan ketat. Sedangkan klien dengan gangguan neurologik yang progresif dan gejala kelemahan, cara pengobatan yang terbaik adalah pembedahan.
Observasi klinis yang digandakan dengan imaging serial merupakan pendekatan yang berasan dengan beberapa gejala dan koleksi subdural kronik yang sedikit. Terapi dengan glukokortikoid sendiri cukup untuk beberapa hematoma, tetapi evakuasi pembedahan lebih sering berhasil. Membrane fibrous yang tumbuh dari dura dan pengumpulan yang tidak berkapsul membutuhkan pemindahan untuk mencegah akumulasi cairan berulang. Hematoma kecil diabsorbsi, sisa yang tinggal hanyalah membrane yang terorganisasi. Pada studi imaging hematoma subdural kronik dapat sulit untuk dibedakan dengan higroma, dimana pengumpulan CSF didapatkan dari membrane arachnoid. Sebagaimana disebutkan, kerusakan korteks dengan penyebab mendasar hematoma kronik dapat timbul sebagai focus kejang kemudian.
* Untuk Menilai Derajat Penurunan Kesadaran dengan Skala Coma Glasgow (GCS)
1. Cedera Kepala Berat (GCS : 3-8)
2. Cedera Kepala Sedang (GCS : 9-12)
3. Cedera Kepala Ringan (GCS : 13-15)
4. Perdarahan Intrakranial dengan GCS : Cedera Ringan/sedang dianggap sebagai cedera kepala berat.
Ada 3 macam indikator yang diperiksa yaitu:
- Reaksi membuka mata
- Reaksi verbal
- Reaksi motorik
1.Reaksi membuka mata Nilai
Membuka mata spontan 4
Buka mata dengan rangsangan suara 3
Buka mata dengan rangsangan nyeri 2
Tidak membuka mata dengan rangsangan nyeri 1
2.Reaksi verbal Nilai
Komunikasi verbal baik, jawaban tepat 5
Bingung, disorientasi waktu, tempat dan ruang 4
Dengan rangsangan nyeri keluar kata-kata 3
Keluar suara tapi tak berbentuk kata-kata 2
Tidak keluar suara dengan rangsangan apapun 1
3.Reaksi motorik Nilai
Mengikuti perintah 6
Melokakisir rangsangan nyeri 5
Menarik tubuhnya bila ada rangsangan nyeri 4
Reaksi fleksi abnormal dengan rangsangan nyeri 3
Reaksi ekstensi abnormal dengan rangsangan nyeri 2
Tidak ada gerakan dengan rangsangan nyeri 1
* Asal Perdarahan Subdural Hematome dan Gejalanya
Hematoma subdural berasal dari perdarahan pada vena di sekeliling otak. Perdarahan bisa terjadi segera setelah terjadinya cedera kepala berat atau beberapa saat kemudian setelah terjadinya cedera kepala yang lebih ringan. Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering terjadi pada usia lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua keadaan ini, cedera tampaknya ringan; selama beberapa minggu gejalanya tidak dihiraukan. Hasil pemeriksaan CT scan dan MRI bisa menunjukkan adanya genangan darah. Hematoma subdural pada bayi bisa menyebabkan kepala bertambah besar karena tulang tengkoraknya masih lembut dan lunak. Hematoma subdural yang kecil pada dewasa seringkali diserap secara spontan. Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis biasanya dikeluarkan melalui pembedahan.
Petunjuk dilakukannya pengaliran perdarahan ini adalah:
- sakit kepala yang menetap
- rasa mengantuk yang hilang-timbul
- linglung
- perubahan ingatan
- kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan
ü Diagnosa
Diagnosa dapat ditegakkan berdasarkan gejala yang timbul dan pemeriksaan CT-Scan, MRI.
* Dampak Cedera Kepala
ü Faktor pernafasan
Hypertensi setelah SDH terjadi karena pengaruh vasokonstriksi paru, hypertensi paru, dan oedema paru. Hal ini menyebabkan hypercapnea dan bronkokonstriksi. Sensitifitas yang meningkat pada mekanisme pernafasan terhadap karbondioksida dan periode setelah hyperventilasi akan menyebabkan pernafasan chynestoke.
ü Faktor kardiovaskuler
SDH menyebabkan perubahan fungsi jantung yang mencakup aktivitas atycikal myocardinal, edema paru dan tekanan vaskuler. Perubahan otonom pada fungsi ventrikel / perubahan gelombang T, gelombang P tinggi dan disritmia, vibrilasi atrium dan ventrikel tachycardia. Perubahan aktivitas myokardial mencakup peningkatan frekuensi jantung dan menurunnya stroke work, CVP abnormal. Dengan tidak adanya endogenous stimulus saraf simpatis, maka akan mempengaruhi penurunan kontraktilitas ventrikel. Hal ini mengakibatkan terjadinya penurunan CO2 dan peningkatan tekanan atrium kiri sehingga terjadi oedema paru.
ü Faktor gastrointestinal
Setelah cedera kepala, perlukaan dan perdarahan pada lambung jarang ditemukan, tetapi setelah 3 hari pasca cedera terdapat respon yang besar dan merangsang aktivitas hypthalamus dan stimulus vagus yang dapat menyebabkan langsung hiperacidium. Hypothalamus merangsang anterior hypofise untuk mengeluarkan steroid adrenal. Hal ini merupakan kompensasi tubuh dalam mengeluarkan kortikosteroid dalam menangani oedema cerebral. Hyperacidium terjadi karena adanya peningkatan pengeluaran katekolamin dalam menangani stres yang mempengaruhi produksi asam lambung.
ü Faktor metabolisme.
Cedera kepala dapat mengakibatkan perubahan metabolisme seperti pada trauma tubuh lainnya, yaitu kecendrungan retensi sodium / natrium dan air serta hilangnya sejumlah nitrogen. Retensi natrium disebabkan karena adanya rangsangan terhadap hypothalamus yang dapat menyebabkan pelepasan ACTH dan sekresi aldosteron. Ginjal mengambil peran dalam proses hemodinamik ginjal untuk mengatasi retensi natrium. Kemudian natrium keluar bersama urine, hal ini mempengaruhi hubungan natrium pada serum dan adanya retensi natrium. Pada pasca hypotermia hilangnya nitrogen yang berlebihan sama dengan respon metabolik terhadap cedera, karena adanya cedera tubuh maka diperlukan energi untuk menangani perubahan seluruh sistem, tetapi makanan yang masuk kurang sehingga terjadi penghancuran protein otot sebagai sumber nitrogen utama, demikian pula respon hypothalamus terhadap cedera, maka akan terjadi sekresi kortisol, hormon pertumbuhan dan produksi katekolamin dan prolaktin sehingga terjadi asidosis metabolik karena adanya metabolisme anaerob glukosa
* Terapi
ü Medikamentosa dan Non Medikamentosa
Meskipun SDH secara signifikan membutuhkan terapi pembedahan, maneuver medis sewaktu dapat digunakan preoperative untuk menurunkan tekanan intracranial yang meningkat. Pengukuran ini merupakan pintu untuk setiap lesi massa akut dan telah distandardisasi oleh komunitas bedah saraf. Sebagaimana dengan pasien trauma lain, resusitasi dimulai dengan ABCs (airway, breathing, circulation).
o Semua pasien dengan skor GCS kurang dari 8 harus dilakukan intubasi untuk perlindungan jalan nafas.
o Setelah menstabilkan fungsi jalan nafas, lakukan pemeriksaan neurologis. Respirasi yang adekuat sebaiknya dilakukan dan dijaga untuk menghindari hipoksia. Hiperventilasi dapat digunakan jika sindrom herniasi tampak.
o Tekanan darah pasien harus dijaga pada kadar normal atau tinggi dengan menggunakan salin isotonic, penekan, atau keduanya. Hipoksia dan hipotensi, dimana penting pada pasien dengan trauma kepala, merupakan predictor yang independen untuk hasil yang buruk.
o Sedatif kerja singkat dan paralitik digunakan hanya ketika diperlukan untuk memfasilitasi ventilasi adekuat atau ketika peningkatan tekanan intracranial dicurigai. Jika pasien menampakkan tanda sindrom herniasi, berikan manitol 1gr/kgBB dengan cepat melalui intravena.
o Pasien juga sebaiknya dihiperventilasikan ringan (pCO2 ~30-35 mm Hg).
o Pemberian antikonvulsan untuk mencegah kejang yang disebabkan iskemia dan selanjutnya jaga tekanan intracranial.
o Perawatan Pembedahan
Indikasi Operasi :
v Penurunan kesadaran tiba-tiba di depan mata
v Adanya tanda herniasi/ lateralisasi
v Adanya cedera sistemik yang memerlukan operasi emergensi, dimana CT Scan Kepala tidak bisa dilakukan.
Tindakan eksploratif burrhole dilanjutkan tindakan kraniotomi, pembukaan dura, evakuasi hematoma dengan irigasi memakai cairan garam fisiologis. Sering tampak jaringan otak edematous. Disini dura dibiarkan terbuka, namun tetap diperlukan penutupan ruang likuor hingga kedap air. Ini dijalankan dengan bantuan periost. Perawatan pascabedah ditujukan pada faktor-faktor sistemik yang memungkinkan lesi otak sekunder.
Indikasi dari dekompresi mendesak untuk subdural hematoma akut telah dilakukan sebelumnya, dan managemen operasi didiskusikan dengan ringkas. Standar kebalikan pertanyaan menandakan insisi untuk memberikan akses yang besar terhadap wilayah frontal, temporal dan parietal.
o Pasien diposisikan supine dengan kepala menghadap sisi yang perlu. Penahan bahu ditempatkan untuk mencegah vena jugularis. Alat Fiksasi kepala 3 titik digunakan pada pasien dengan fraktur medulla spinalis yang tidak stabil.
o Seluruh kepala dicukur duntuk memfasilitasi penempatan monitor tekanan intracranial pada sisi kontralateral, jika diinginkan.
o Pelubangan eksplorasi jarang diindikasikan tetapi terkadang digunakan sebagai pengukuran untuk keselamatan hidup. Pasien dengan trauma kepala dapat secara cepat ditriasekan dan dievakuasi dengan pusat trauma melalui CT Scan, membuat perlubangan eksplorasi manjadi ketinggalan. Bagaimanapun, perlubangan kepala dapat digunakan untuk dekompresi mendesak pada apsien yang menunjukkan herniasi cepat jika akses untuk studi radiografi tidak ada.
o SDH seringkali dikaitkan dengan pembengkakan otak akut. Secara ironis, dekompresi cepat subdural hematom melalui craniotomy pada pasien ini dapat menyebabkan kerusakan terhadap otak dengan menjadi herniasi melalui defek kraniotomi. Metode novel untuk dekompresi dianjurkan untuk mencegah otak dari kerusakan melalui defek kiraniotomi. Sumbatan dapat dipindahkan melalui pembukaan dura yang kecil.
* Prognosis
Hal-hal yang dapat membantu menentukan prognosis : Usia dan lamanya koma pasca traumatik, makin muda usia, makin berkurang pengaruh lamanya koma terhadap restitusi mental. Tekanan darah pasca trauma. Hipertensi pasca trauma memperjelek prognosis. Pupil lebar dengan fefleks cahaya negatif, prognosis jelek. Reaksi motorik abnormal (dekortikasi/deserebrasi) biasanya tanda penyembuhan akan tidak sempurna. Hipertermi, hiperventilasi, Cheyne-Stokes, deserebrasi: menjurus ke arah hidup vegetative Apnea, pupil tak ada reaksi cahaya, gerakan refleks mata negatif, tak ada gerakan apapun merupakan tanda-tanda brain death. Ini perlu dilengkapi dengan EEG yang isoelektrik. Prognosis tergantung dengan penanganan yang cepat dan tepat.
0 komentar:
Posting Komentar